Ilmu Eksak Atau Ilmu Sosial?

"Besok kalau sudah gede, mau jadi apa?”
“Mau jadi dokter,”

Sewaktu saku kecil, jawaban “mau jadi dokter” ibarat jargon yang otomatis keluar apabila ditanya tentang cita-cita. Padahal, pas itu aku sama sekali awam tentang profesi berjuluk “jadi dokter” itu. 

Walhasil, imej dokter dan pinter pun terpatri kuat di benak saya. Di dalam benakku jadi dokter adalah puncak pencapaian prestasi. Walaupun, pada dasarnya, orang tua ku gak memaksakan untuk jadi dokter, tapi masuk farmasi, waah ..
Om ku juga  kena sindrom “mabuk dokter”. Ia berjanji akan membiayai kuliah ku sampai tuntas kalau aku bisa masuk Kedokteran. Awalnya, kami menganggap ini adalah sebuah berita gembira. Namun, seiring perjalanan waktu, aku mulai berpikir, apakah aku akan menjadi penawar “mabuk dokter” buat keluarga aku?

Aku masih terus menimbang-nimbang. Tahun pertama di SMA aku malah jadi gojag-gajeg. Apa yang harus aku pilih? Gak mungkin kan menunda pilihan. Semasa SD dulu, sah-sah saja aku ingin jadi arsitek, astronot, bahkan juragan klepon sekalipun. Namun kini, tidak bisa semudah itu menentukan langkah. Berbekal kesuksesan memasuki almamater bergengsi seperti ini, aku harus bisa bijak. Ini masalah hidup.

Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi lagi, masyarakat kita memang terkondisikan menganggap IPS adalah wadah bagi siswa-siswa “afkiran” alias "buangan". Kebanyakan dari kita (nggak yang muda, nggak yang tuwo, nggak yang modern, nggak yang kuno) meyakini bahwa program ilmu sosial hanya untuk anak-anak yang harus ngeden ngentut sekadar buat naik kelas. Di kelas sepuluh dulu, aku sering mendengar,

“Aduh, gimana niiih??? Nanti kalau aku masuk IPS, gimana?”
“Sob, nanti semesteran bantuin yak. Biar masuk IPA, men,”

Aku pun menyimpulkan, kalau begitu pemilihan jurusan hanya semata prestise. Masuk IPA hanya untuk gaya-gaya, tidak peduli endingnya teraniaya. Sementara, IPS dipandang sebagai ajang leha-leha, hura-hura dan main-main saja.
Ilmu di dunia ini ‘kan banyak. Ada ilmu agama, ada ilmu alam, ilmu sosial, ilmu ketrampilan, bahkan nyantet pun ada ilmunya. Kemudian, dari ilmu-ilmu tersebut, kita tinggal memilih ilmu mana yang akan ditekuni. Pokoknya minat, bakat, niat, tekad.

Pertama, kita harus menemukan bidang yang membuat kita tertarik. Misalnya seni, matematika, bahasa atau olah raga. Selanjutnya, kita harus sadar diri dengan bakat yang kita miliki. Mampukah kita menuruti minat kita? Kalau nilai Kimia kita bisa untuk nyanyi alias cuma do re mi fa sekuat apa pun mencoba, ya jangan maksa. Itu tandanya, Kimia bukan bakat kita. Cari bidang yang mana kita bisa total optimal di dalamnya. 

Elemen terpenting dari suatu ikhtiar adalah niat. Bila kita bersungguh-sungguh dalam berusaha, InsyaALLAH, akan diberi keringanan dan keriangan. Tekad juga penting untuk menjaga kestabilan dan kontinuitas suatu proses. Item terakhir yang harus kita kantongi adalah ragad. Ragad bila diterjemahkan secara harfiah adalah biaya atau uang, tetapi sesungguhnya ragad itu luas. Ragad juga bisa berarti restu, support, fasilitas juga doa. Umumnya ragad itu datangnya dari orang tua. Kalau semua sudah dicapai, perkara memilih jurusan sudah bukan persoalan.

Menginjak tahun ini aku pun mantap dengan pilihan, program IPS. Tentu saja, setelah menjalankan 5 prinsip yang sudah dibahas tadi. Biarlah teman-teman yang lain memilih IPA, itu ‘kan pilihan mereka. Aku punya pilihan sendiri, aku punya nasib sendiri, aku punya hidup saya sendiri. Toh, dengan memilih IPS, peluangku untuk bergaul, berorganisasi, belajar dan berkarya tidak tertutup. Apa yang dijalani berdasar yang diingini. Jadi, tidak ada proses buang binuang, paksa memaksa, tundung menundung, singkang sinengkang.
Apa yang kita pilih adalah sebagian dari tahapan membangun masa depan. Ada konsep yang ingin kita realisasikan. Jadi, memilih program itu jangan disamakan petak umpet. Masuk IPS karena tidak ingin bertemu Fisika, masuk IPA karena tidak suka Geografi. Apalagi, masuk IPA/IPS karena ikut-ikutan. Masuk IPS atau IPA tanggung jawabnya sama saja. Prestise-nya juga sama saja. Tidak ada yang sekadar santai-santai atau keren-keren. Kalau mau santai-santai, pulang saja, angon bebek.

Kesuksesan tidak bisa diparameterkan dengan variabel bidang tertentu. Gelar akademik tinggi bukan monopoli insan eksak belaka. Jangan dikira, kalau mau jadi profesor harus ahli biologi, profesor ekonomi juga banyak. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, justru pelajar-pelajar program ilmu alam banyak yang menyeberang ke jurusan ilmu sosial. Dan dapat dibayangkan betapa riweuhnya mengejar IPC yang waktu persiapannya paling lama hanya sepekan itu.
Jangan biarkan prasangka membuat kita terpenjara. Jangan menyiksa diri sendiri dengan sesuatu yang tidak kita perlukan. Bila ada potensi, pilihan bukan sekadar spekulasi. Jangan sampai salah memilih. Bila memang merasa cocok dan mantap di IPA, ya jangan ragu memilih, begitu pun dengan IPS. Semua punya jalur sukses sendiri-sendiri.

Share:

0 comments