Aanisa Rohmi

Tahun 2014 mulai pergi.
Banyak. Banyak banget pelajaran yang diberikan oleh 2014.
Banyak. Banyak banget kejadian yang terjadi di 2014.
Dari mulai aku belajar mandiri, belajar hemat, belajar menabung, belajar investasi, belajar berdagang. Semuanya. Aku rasa tahun ini membuat aku lebih dewasa.

By the way, sekarang di Malang aku tinggal sendiri di rumah yang besar. Seharusnya ada tante, sayangnya tante harus balik ke Samarinda karena mengurus saudaranya (Om ku).
Semenjak sendiri di rumah dari awal semester 3 aku benar-benar ngerasain gimana rasanya mengurus rumah.
Ngerasain gimana bersihin rumah segede ini, ngerasain gimana aku harus hemat air dan listrik, ngerasin makan sendiri, nonton sendiri, ketawa sendiri. Tapi bersyukur banget aku berani sendiri di rumah segede ini.

Satu permasalahan yang gak bisa aku selesaikan saat ini. Masak. Aku gak bisa masak, kecuali masak mie atau telur. Sedikit cerita. dulu pada waktu awal-awal semester 3, setiap pagi aku makan nasi goreng yang bumbunya instan ditemenin ikan asin dan malamnya makan nugget dan kentang goreng. Ya maklum lah, yang dulunya dimasakin, yang dulunya tinggal makan, sekarang harus putar balik otak kalo makan. Berhubung aku anak ekonomi, aku selalu mikir uang. Gimana caranya harus minimalkan pengeluaran tanpa mikirin keadaan aku. Pola makan yang serba instan yang dilakukan setiap hari mengakibatkan aku terkena tumor payudara. Kaget. Kaget banget pas dengar dokter ngomong gitu.Ah sudahlah aku gak mau cerita tentang tumor payudara. Nanti malah tambah panjang. Tapi ingat banget pesan papa "jangan pelit untuk diri sendiri". Dari situ aku sadar kalau selama ini aku memang pelit dengan diri aku sendiri. Dari situ juga aku belajar kalau aku gak boleh sakit karena itu benar-benar membuat kerugian yang sangat besar. Terutama untuk orang tua aku.

Sudah banyak dentuman petasan terdengar. Entah ini memang sudah kebiasaan atau memang malas untuk merayakan tahun baru diluar seperti orang lain. Kebiasaan karena selalu merayakan tahun baru di rumah bersama keluarga walaupun papa harus kerja lembur mengurus tutup buku di kantor. Malas karena aku kurang menyukai jalan diluar rumah tanpa tau tujuannya apa lagipula ini sudah larut malam, kalau disini ada mama pasti sudah dilarang jalan malam-malam.

Jadi apa yang aku lakukan di malam tahun baru saat jauh dari keluarga??? Yappp. Aku mengetik ini sambil mendengarkan musik instrument di malam tahun baru. Apa mungkin cuma aku yang melakukan ini saat malam tahun baru?? Hahahaa. Entahlah, hal ini membuatku merasa cukup tenang, bisa mendengar lagu instrument sedalam ini sambil mengulang-ngulang moment dan pelajaran apa yang aku dapat di 2014. Sekarang saatnya menyiapkan tisu, lalu merenung apa yang harus kuperbaiki dan menopang kedua tanganku untuk Dia yang memberiku kehidupan. Jadi, sudahlah sampai sini saja aku bercerita, aku ingin berduaan dengan Dia yang selalu mendengar curahan hatiku dan selalu ada saat aku membutuhkan-Nya.

Terima kasih 2014❤️
Happy new year.

Hay Guys!
Sudah lama gak posting entri baru.
Aku kangen banget sama blog ini, kangen tulisanku yang aku baca berkali-kali.
Kangen kamu yang baca blog ini heheee.

Selama aku jadi mahasiswa banyak yang berbeda.
Terutama pola pikiran aku. Aku gak tau ini efek tambah usia atau karena aku udah jadi mahasiswa.
Well, karena aku kuliah di Malang, jauh dari orang tua, maka udah semestinya semua apapun urusan, masalah, dan apapun yang terjadi harus aku hadapi.
Sebenarnya gak enak loh jauh dari orang tua. Rasanya tuh kalo udah di Malang aku seperti bawa beban yang beratnya tuh gak terkira banget.
Kenapa aku bisa ngomong gitu? Karena orang tua aku kasih kepercayaan yang sangat sangat besar ke aku.
Orang tua aku selalu ingatin tujuan aku ke Malang itu untuk mencari ilmu. Bukan yang lain.
Jadi, otomatis yang tertanam di otak aku itu ya mencari ilmu.

Aku sempat iri sama mereka-mereka yang bisa jalan, bisa menghabiskan uang, bisa kemana aja.
Sedangkan aku, untuk keluarin uang aja aku harus pikir-pikir lagi.
Alhamdulillah keluarga aku termasuk keluarga yang keadaannya jauh lebih dari cukup untuk membayar tagihan, spp dan keperluan sehari-hari.
Bahkan papa aku juga sering nawarin tambahan uang.

Tapi, kembali diri masing-masing aja. Kita sebagai anak yang semuanya dibiayain oleh orang tua gak mau nambah beban orang tua disana.
Rasanya kalau udah dikasih uang bulanan trus kita minta uang tambahan lagi itu rasanya gagal aja.
Gagal untuk bisa jadi dewasa, gagal untuk mengontrol keinginan kita.

Yang paling menegangkan dan menakutkan itu setelah kita ulangan semester.
Dimana saat nilai-nilai kita keluar, bertebaran dimana-dimana.
Aku paling takut saat nilai keluar, aku takut kalau aja ada nilai aku yang jelek banget.
Rasanya tuh gagal banget. Rasanya juga takut.
Aku sebagai anak perantauan punya kewajiban untuk memberikan nilai yang baik buat keluarga aku.
Beban itu semakin berat kalau tau-tau kamu pulang dengan nilai yang jauh banget dari keinginan orang tua kamu.

Malu aja gitu. Biaya kuliah dan biaya bulanan kita, dan lain-lain itu sudah dipenuhi oleh orang tua kita.
Lalu kita sebagai anak cuma kasih nilai yang jelek.
Coba kamu bayangin!! Intinya aku disini cuma mau ingatin aja sebagai anak perantauan kita harus pikir 2 kali untuk melakukan sesuatu, bahkan harus berulang-ulang sih menurut aku.





Kita selalu membayangkan seandainya dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik. Tapi, kita sendiri merasa bahwa kita terlalu kecil untuk bisa membuat perubahan. Padahal sebenarnya kalo dipikir-pikir kita punya potensi besar untuk itu lho; cuma yaaa kita gak sadar aja.


Melakukan hal-hal remeh tapi penting di bawah ini udah bisa untuk mengubah dunia menjadi lebih baik kok, setidaknya duniamu dan orang-orang di sekelilingmu.

1. Tersenyum
Sebuah senyuman bisa membuat banyak perbedaan lho. Tersenyum bisa mencairkan suasana yang kaku serta memberikan semangat positif. Bahkan, kita dianjurkan untuk tersenyum sebelum mengangkat telepon, karena senyum gak hanya berlaku saat tatap muka aja.


Setiap orang tentunya ingin merasa bahagia, dan kamu bisa memberikan dan menularkan kebahagiaan itu lewat sebuah gestur sederhana, yaitu tersenyum. Toh senyum itu gratis kan? Bahkan jika kamu lagi merasa muram, tersenyum bisa jadi solusi yang mudah.



2. Mendengarkan
Kita dianugerahi sebuah mulut dan sepasang telinga. Kenapa? Tentunya agar kita lebih banyak mendengarkan dibanding bicara. Sayangnya, kadang kita merasa enggan untuk menjadi pendengar yang baik, jadinya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.


Mendengarkan dengan seksama akan membuat orang lain merasa dihargai, dan kamu pun bisa menyerap informasi dengan lebih baik. Tinggalkan sejenak aktivitas dan lamunanmu, fokus pada orang yang mengajakmu bicara. Lalu berikan tanggapan yang sesuai. Ini bisa membuat banyak perbedaan lho.


Kita pasti ingin didengar: kita punya kisah untuk diceritakan dan kita ingin dimengerti. Mendengarkan bisa menjadi jembatan yang baik untuk memahami orang lain.



3. Bersih-bersih
Tempat yang bersih itu enak dilihat, bikin perasaan dan pikiran lebih nyaman. Maka, bikin tempat tinggalmu dan sekelilingmu selalu bersih dan rapi. Melakukan ini menunjukkan kalo kamu peduli sama lingkunganmu dan kamu juga bisa menjadi contoh yang baikbuat orang lain.


Jangan ragu buat membuang sampah yang kamu temukan pada tempat yang seharusnya. Saat temanmu mengadakan acara, gak ada salahnya mengulurkan bantuan, temanmu pasti bakal merasa tertolong banget deh.

4. Membukakan pintu untuk orang lain
Hidup di kota yang apa-apa serba cepat bikin kita jadi serba terburu-buru dan terlalu mementingkan diri sendiri. Gak ada salahnya meluangkan waktu sesaat untuk membukakan atau menahan pintu buat orang lain ketika kebetulan kamu sedang berjalan masuk atau keluar ruangan. Sikap sederhana ini akan membuat orang lain merasa dihargai dan berterima kasih.

5. Mentraktir seseorang
Kalo kamu punya rezeki lebih, gak ada salahnya berbuat kebaikan dengan mentraktir seseorang, baik itu temanmu sendiri atau bahkan orang yang sama sekali gak kamu kenal. Dengan melakukan hal semacam ini, bukan gak mungkin orang-orang yang menerima kebaikanmu akan meneruskannya ke orang lain, menjadikannya seuntai rantai kebaikan yang diulurkan dari satu orang ke orang lainnya.


Dengan sendirinya dunia bakal menjadi lebih baik, kan? Yang harus kamu lakukan hanya memulainya.

6. Mengucapkan “tolong” dan “terima kasih” dengan tulus
Mengucapkan dua kata ajaib ini memang udah sepatutnya dilakukan. Tapi, ternyata kadang kita melewatkannya, terutama ketika kita tengah menerima pelayanan atau memberikan perintah, terutama ketika itu menjadi pekerjaan mereka.


Jangan lupa mengucapkan terima kasih ketika kita sudah dilayani dengan baik oleh kasir, misalnya, meskipun memang kewajiban mereka untuk melayani kita. Atau mengatakan “tolong” kepada OB saat memintanya membuatkan kita kopi. Hal remeh ini bisa membuat mereka merasa dihargai.

7. Memberi ucapan yang personal
Saat hari raya, udah jadi hal yang lumrah untuk memberi ucapan lewat pesan singkat. Tapi, budaya mengirimkan pesan massal berupa template kepada teman dan kolega kita yang kini marak terjadi membuat segala sesuatu terasa hambar.


Coba deh kamu bayangin gimana rasanya dapat broadcast BBM atau SMS ucapan selamat hari raya yang isinya cuma template tanpa menyebutkan nama orang yang dituju: rasanya gak spesial ‘kan? Padahal, kini kita gak perlu jauh-jauh datang ke rumah para relasi kita untuk memberi ucapan satu persatu. Jadi, gak usah pake alasan capek atau repot.


Ngasih ucapan yang mencatumkan nama orang yang dituju akan membuat pesan kamu terasa personal dan spesial, dan tentunya bikin orang yang menerimanya merasa senang karena merasa diingat olehmu.

8. Menyemangati orang lain.
Hal terbaik yang bisa kamu berikan kepada seseorang adalah semangat, karena gak banyak orang yang memperoleh semangat dari orang-orang di sekelilingnya untuk bisa menunjukkan potensi terbaik mereka. Kalo aja semua orang bisa mendapat dorongan yang mereka butuhkan, pasti bakal banyak jenius yang lahir dari diri mereka.


Memberi semangat bisa kamu lakukan mulai dari memberikan pujian, mengatakan “kamu bisa”, atau bahkan memberikan cinta. Dorongan semangat terbaik yang bisa kita berikan adalah dengan mencintai dan menerima seseorang apa adanya di segala situasi.

9. Beri waktu buat dirimu sendiri
Mungkin kedengarannya agak egois, tapi ada suatu saat di mana ketika harusnya istirahat, kamu justru bekerja keras. Padahal, kamu akan lebih produktif kalau kamu mengambil istirahat yang cukup. Berikan dirimu sendiri waktu yang cukup untuk menyeimbangkan fisik dan mentalmu, agar nantinya kamu bisa memberi lebih banyak bagi orang lain.

10. Memberi dan menerima
Kapanpun kamu bisa berbagi, berbagilah. Kebaikanmu hari ini akan dibalas dengan suatu cara, suatu hari. Dan yang kamu beri itu gak harus selalu berupa materi, tapi juga bisa berupa ide, sikap, atau dorongan semangat.


Yang gak kalah penting, kamu juga perlu menerima kebaikan dari orang lain. Dengan menerima, kamu akan merasa dihargai dan dipedulikan. Kamu juga memberi kesempatan bagi seseorang untuk menikmati rasanya memberi atau melakukan sesuatu bagi orang lain.

11. Menjadi dirimu sendiri
Kita seringkali terfokus untuk membentuk diri sendiri menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginan orang lain, sehingga kita melupakan siapa diri kita sebenarnya. Padahal, kehadiranmu adalah hadiah, dan kamu telah dilahirkan ke dunia dengan suatu alasan.


Temukan dirimu sendiri: apa yang kamu pikirkan, apa passion-mu, apa yang membuatmu bersemangat. Memberi kesempatan bagimu untuk menjadi diri sendiri berarti memberikan kesempatan yang sama bagi orang-orang di sekelilingmu.


Bayangkan, hidup kita pasti jauh lebih mudah jika masing-masing bisa menjadi dirinya sendiri, alih-alih berusaha menjadi seseorang yang bukan diri kita hanya demi menyenangkan orang lain. Dan semua itu bisa dimulai dari kamu.


Membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik adalah perihal menularkan kebaikan bagi sesama dengan tetap menjadi diri sendiri. Jadi, apa kamu udah siap untuk memulai perubahan ke arah yanglebih baik?
Seorang guru di Australia pernah berkata:

“Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika” kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”

“Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu ?” Kerena yang terjadi di negara kita justru sebaliknya.

Inilah jawabannya:

Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb.
Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.
”Memang ada pelajaran berharga apa dibalik MENGANTRI ?”

”Oh iya banyak sekali pelajaran berharganya;”

Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang.
Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting..
Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain.
Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)
Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
Anak belajar disiplin, teratur dan kerapihan.
Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
Anak belajar bekerjasama dengan orang2 yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.
Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain.

dan mungkin masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan anda temukan sendiri sisanya.

Saya sempat tertegun mendengarkan butir-butir penjelasannya. Dan baru saja menyadari hal ini saat satu ketika mengajak anak kami berkunjung ke tempat bermain anak Kids Zania di Jakarta.

Apa yang di pertontonkan para orang tua pada anaknya, dalam mengantri menunggu giliran sungguh memprihatinkan.

Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk ”menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata ”Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja !!”
Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata ”Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
Ada orang tua yang menggunakan taktik dan sejuta alasan agar anaknya di perbolehkan masuk antrian depan, karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dsb. Dan menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang berbeda.
Ada orang tua yang malah marah2 karena di tegur anaknya menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya.
dan berbagai macam kasus lainnya yang mungkin anda pernah alami juga?

Ah sayang sekali ya.... padahal disana juga banyak pengunjung orang Asing entah apa yang ada di kepala mereka melihat kejadian semacam ini?

Ah sayang sekali jika orang tua, guru, dan Kementrian Pendidikan kita masih saja meributkan anak muridnya tentang Ca Lis Tung (Baca Tulis Hitung), Les Matematika dan sejenisnya. Padahal negara maju saja sudah berpikiran bahwa mengajarkan MORAL pada anak jauh lebih penting dari pada hanya sekedar mengajarkan anak pandai berhitung.

Ah sayang sekali ya... Mungkin itu yang menyebabkan negeri ini semakin jauh saja dari praktek-praktek hidup yang beretika dan bermoral?

Ah sayang sekali ya... seperti apa kelak anak2 yang suka menyerobot antrian sejak kecil ini jika mereka kelak jadi pemimpin di negeri ini?

Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua juga para pendidik di seluruh tanah air tercinta. Untuk segera menyadari bahwa mengantri adalah pelajaran sederhana yang banyak sekali mengandung pelajaran hidup bagi anak dan harus di latih hingga menjadi kebiasaan setiap anak Indonesia. Mari kita ajari generasi muda kita untuk mengantri, untuk Indonesia yang lebih baik...

Iseng-iseng buka twitter, tiba-tiba nemu link. Dan gak taunya, ketemu postingan yang isinya curhatan seorang siswa sehabis mengerjakan UNAS.
Ini benar-benar miris. Pemerintah yang bersikap suka-suka masih menunjukkan sikap kekanakan.

Siswa-siswi yang menjadi kelinci percobaan hanya bisa menerima kebijakan yang telah disetujui oleh Menteri Pendidikan.
Aku sempat merinding baca curhatan ini. Semoga kalian gak bosan membacanya sampai habis. Simak baik-baik!!

Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara.

Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat,
di tempat.

16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…

a. terpaksa

b. terpuji

c. tercela

d. terbiasa

Ardi berhenti di soal nomor enam belas itu, salah satu soal ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dengan penuh keyakinan…

Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, dan ia menghela nafas dalam-dalam begitu membaca isinya.

Jadi gimana Di, ikutan pakai ‘itu’ nggak?

Barangkali bukan kebetulan Ardi menemukan soal-soal ulangan SD-nya saat ia mau mencari buku-buku lamanya, barangkali bukan kebetulan Ardi membaca soal nomor enam belas dan jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda setelah ia mengirim sebaris kalimat yakin…

Nggak, Jo, aku mau jujur aja.

Sebuah balasan pahit mampir selang beberapa detik setelahnya,

Ah, cemen kamu.

Tapi tidak, Ardi tak goyah. Ia mengulum senyum dan batinnya berbisik pelan, salah, Jo.

Jujur itu keren.

UNAS. Sebuah jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. Sebuah penentu kelayakan seorang siswa untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UNAS sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai yang terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra, yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil ‘memaksa’ pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.

Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yang melempar tanya:

“Bagaimana dengan kecurangan UNAS?”

Ah, ya, UNAS memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.

Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dengan kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yang punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran adalah kunci kesuksesan’ itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di berbagai media.

UNAS dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa ‘UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan’, dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami oleh generasi muda Indonesia.

Tetapi sekarang, sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS… dengan berat hati saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting…

Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator ‘menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan’?

Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, ‘tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?’ melainkan akan langsung bertanya, ‘nilai UNASmu berapa?’.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, ‘kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.

Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata ‘sedikit’ ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, ‘kan?

Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti… apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, ‘tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru’. Tapi, Pak, sekali ini saja… sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.

Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya… beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran…

Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?

Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?

Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?

Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?

Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?

Etiskah menuntut sebelum memberi?

Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?

Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, ‘Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan’. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak ‘UNAS menyenangkan’ itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas…

Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.

Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa “Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!”, tetapi ketika hari H pelaksanaan… voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.

Iya langsung bersih cling begitu, toh?

Nyatanya tidak.

Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat… tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.

Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak… saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka… berharap Tuhan membantu.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih ‘ah, ini bukan bidang saya’, lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?

Tidak.

Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya… mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.

………

………

………

Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.

Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?

Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.

Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.

Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?

Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, “Kita lihat saja hasilnya nanti.”

Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah ‘don’t judge a book by its cover’, akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para ‘ghost writer UNAS’. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?

Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi…

Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, “Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita”. Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?

(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom ‘saya mengerjakan ujian dengan jujur’ dari lembar jawaban UNAS.)

UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.

Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.

Dan saya tahu itu, Pak.

Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?

Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?

Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?

Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.

Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.

Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba…

Dari anakmu yang meredam sakit,

Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.

Nurmillaty Abadia

Ada 3 kata sederhana yang memiliki arti yang begitu ajaib dan cukup memberikan makna positif bagi orang lain yang mendengarnya.

Dale Carnegie dan John C Maxwell, tokoh motivator kepemimpinan terkenal bahkan mengungkapkan, tiga kata ini adalah tiga mantera ajaib untuk membuat orang mengikuti apa yang anda inginkan.

Tapi di jaman yang sekarang ini kata-kata itu jarang banget terdengar.
Gak usah jauh-jauh deh, ambil contoh aja di keseharian kita. Pasti ada aja kejadian yang seharusnya ada 3 kata sederhana ini tapi karena emang jamannya udah beda ya, jadi 3 kata ini jarang banget kedengaran. Padahal kata-kata ini sederhana banget, tapi kenapa beberapa orang susah banget ngucapinnya.

3 kata ini adalah Maaf, Tolong, dan Terima Kasih

Maaf
Manusia adalah tempatnya salah dan khilaf, seperti ungkapan yang terkenal “nobody’s perfect”. Maka dari itu kita sangat dianjurkan untuk meminta maaf ketika kita bersalah. Tapi kenapa kita sering sekali susah untuk mengucapkan “maaf”? jawabannya adalah karena “maaf” itu membutuhkan keikhlasan yang luar biasa bagi yang mengucapkannya. Meminta maaf akan membuat kita semakin mulia, baik disisi manusia maupun disisi Allah swt. Bagi Allah orang yang meminta maaf dengan tulus kepada orang lain akan dilihat oleh Allah sebagai orang yang rendah hati dan tidak sombong, karena kesombonganlah yang menjadikan alasan mengapa kita tidak mau meminta maaf.

Tolong
Manusia itu merupakan makhluk social , maksudnya kita tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Mengapa kata “Tolong” sulit diucapkan ya? Apalagi, bagi orang yang merasa memiliki kedudukan social yang tinggi. Padahal kedudukan social itu tidak berpengaruh apa-apa. Kata “Tolong” membuat kita sadar akan keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki. “Tolong” membuat kita lebih mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan melihat apa yang bisa dan tidak bisa kita lakukan.

Terima Kasih
Terima Kasih adalah salah satu bentuk rasa syukur kita kepada Allah swt. melalui perantara manusia. Kaa “terima kasih” sangat sulit diucapakan karena memang ucapan “terima kasih” membutuhkan ketulusan dari yang mengucapkannya. Menurut riset, dalam menjalani hubungan dengan orang lain, ucapan “terima kasih” sekecil apapun dapat membuat suatu hubungan menjadi harmonis dan lebih baik.

Nah, dari ketiga kata ajaib diatas aku sering ketemu orang yang selalu lupa bilang "terima kasih" setelah aku bantu mereka. Bukannya gak ikhlas bantu atau gimana ya, ini semua soal attitude guys. Setidaknya kamu harus menghargai usaha seseorang yang baru niat bantu kamu, apalagi kalo udah beneran bantu.

Ada beberapa waktu saat teman dekatku sendiri gak bilang terima kasih. Sangking jengkelnya, aku sampai pernah nyindir teman dekatku sendiri di medsos, dan gak tau kenapa temanku ini tiba-tiba langsung hubungi aku dan minta maaf. Walaupun aku sendiri jadi gak enak juga ke dia, tapi memang harus begitu adanya. Aku sudah bantu dan aku cuma butuh kata "terima kasih". Apakah itu berat untuk dikatakan? Well, semua balik ke diri masing-masing. Bisa menghargai usaha seseorang atau gak :)

Pada intinya, ingat selalu 3 kata sederhana itu, jangan sampai lupa untuk membiasakan diri mengucapkan kata “maaf”, “tolong”, dan “terima kasih” kepada siapapun karena kekuatan kata-kata tersebut sangat luar biasa guys. Walaupun bagi sebagian orang ini tidak terlalu penting, tapi sebagian orang lagi menganggap ini penting. So, jadilah bagian dari orang yang menganggap 3 kata sederhana diatas penting karena secara tidak langsung itu membentuk attitude yang baik :)

Kau ingat saat kita saling tersenyum lalu berkenalan? Kau ingat saat kita duduk di tepian senja? Kau ingat saat kita termangu di rintik hujan? Kau ingat saat kita saling menggenggam tangan seakan tidak mau melepas? Kau ingat saat kita saling mengkhawatirkan? Kau ingat saat kita dengan kejamnya dipisahkan jarak? Kau ingat saat kita mencoba bertahan meski tiada tahu kapan lagi bisa saling menatap? Kau ingat saat kita saling mengingatkan untuk mengingat satu sama lain? Kau ingat saat kita menjadi jarang berbincang? Kau ingat saat kita semakin menghilang? Hingga akhirnya aku memutuskan menjadi algojo yang memaksa untuk membunuh semua rasa ini.

Bukan jarak yang membuatku melepas, tapi kenyataan bahwa entah kapan kita bisa bertemu lagi. Bukan jarak yang membuatku menyerah, tapi kenyataan bahwa akan sangat menyakitkan jika terjadi sesuatu yang buruk padamu dan aku tidak bisa ada di sebelahmu. Bukan jarak yang membuatku menghilang, tapi kenyataan bahwa aku tidak bisa meminjamkan pundak saat kau bersedih.

Setiap kali aku memejamkan mata, selalu terasa kau ada di sebelahku, dan setiap kali aku membuka mata, rasa sakit jauh darimu tidak dapat terelakkan. Hingga entah kapan aku harus bertahan? Hanya mampu memandangi bintang dan berharap kau memandangi bintang yang sama. Hanya mampu mendoakanmu di setiap ibadahku. Hanya mampu mencintaimu tanpa bisa melakukan yang terbaik untukmu. Ini sungguh menyiksa.

Mungkin lebih baik rasa ini dibunuh seketika daripada memudar perlahan. Kelak kau akan mengerti mengapa aku memilih untuk mengikhlaskanmu pada seseorang yang sanggup berada di sampingmu kapan pun kau membutuhkan pelukan. Jangan menangis, sayang, bukan itu yang ingin aku ingat dari akhir sebuah kisah indah. Kenanglah bagian terbaik dalam hidup kau dan aku ketika kita bisa saling berpegang tangan, saling merasakan cinta, dan  saling tersenyum di hadapan satu sama lain karenanya. Syukurilah Tuhan pernah mempertemukan kita, lalu melangkahlah lagi dengan segenap kekuatanmu. Lanjutkan hidupmu, berbahagialah. Maaf, aku tidak bisa menjadi seseorang yang lebih baik untukmu. Terimakasih perjalanannya, singkat namun menyenangkan.

Kalau kita adalah orang yang suka berkata, ”Mungkin”, maka kita akan dianggap orang yang peragu. Tidak punya keyakinan. Tidak punya motivasi dan gairah menjalani hidup.
“Mungkin saya akan sukses”, “Mungkin saya akan selamat”, “Mungkin saya akan melalui kesulitan ini"
Bagi seorang motivator kata-kata seperti itu tak akan ada dalam kamus mereka. Kata ‘mungkin’ dianggap sebagai penghalang untuk mencapai sukses.
Tetapi dengan sedikit kreasi, kata ‘mungkin’ dapat diubah menjadi ‘kemungkinan’ yang justru akan menjadi motivasi untuk mencapai hal yang lebih baik.
Bila kata ‘mungkin’ mewakili orang yang memiliki sifat peragu, maka kata ‘kemungkinan’ mewakili mereka yang kreatif.
Orang yang kreatif akan menciptakan banyak kemungkinan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Orang yang kreatif akan berpikir tentang kemungkinan dari satu keberhasilan menjadi banyak keberhasilan. Dengan berpikir ‘kemungkinan’ maka akan memberikan banyak pilihan dengan apa yang harus dicapai.
Hidup tidak terpaku dengan cara pemikiran yang itu-itu saja. Tetapi harus berani berpikir untuk mencari kemungkinan lain yang berbeda. Sedikit perbedaan saja, maka sangat besar sekali perubahan yang ada.
Mungkin tulisan ini sederhana dan biasa saja, tapi kemungkinan akan membuat anda berpikir lebih kreatif.
Berapa banyak di antara kita yang mengenal dirinya? 
Apakah aku telah mengenal diriku sendiri selama ini? Ternyata aku lebih mengenal diriku yang palsu daripada diriku yang asli.
Kerap aku bicara tentang harga diri. Tapi aku tak bisa menghargai diriku dengan melakukan hal yang memalukan. 
Bukan hanya tidak menghargai diri. Tapi tidak menghargai orang lain.
Aku sadar diriku ini manusia, makhluk yang mulia diciptakan Tuhan. 
Tapi aku tetap melakukan hal yang tak pantas dilakukan sebagai manusia.
Aku yang mengaku umat beragama dimana ajarannya tentang kedamaian dan kebaikan. 
Tapi hidupnya berantakan dan masih setia dalam keburukan. 
Agama hanya menjadi pakaian atau identitas diri saja.
Aku pula yang mengaku ber-Tuhan. 
Tapi membohongi Tuhan tetap dijalankan. Aku menyembah-Nya. 
Di lain waktu juga menyepelekan. Tak segan melanggar larangannya. Lupa siapa diriku.
Apa yang aku lakukan tak sesuai dengan kepribadianku yang sejati. Karena tak sesuai perintah sang pencerah yang bersemayam di dalam diriku. Aku telah menipu diri dengan tidak berkelakuan sesuai hakekat diri yang sesungguhnya.
Aku lebih memilih hidup dengan diriku yang palsu. 
Dengan tubuh dan pikiran ini bukan dengan diriku yang sejati yang kelak akan mempertanggung jawabkan segala perbuatanku. 
Aku benar-benar tertipu hidup dengan tidak mengenal hakekat diriku yang sejati.



Selamat pagi, pagi yang cerah untuk mendapatkan udara yang segar. Look at that picture? It's me! It's me! 
Did you know guys? Aku nunggu kiriman bando itu berminggu-minggu. Gak tau kenapa nih ya semenjak tinggal di Malang aktivitasku kebanyakan menunggu. Entah itu menunggu paketan JNE/TIKI, menunggu dosen, menunggu hujan reda, menunggu orang, menunggu hal-hal lain. 
Kadang aku berpikir kenapa aku selalu jadi pihak yang menunggu bukan ditunggu? 
Gak adil banget kan? Rasanya menyebalkan kalau terus-terusan menunggu, tapi apa boleh buat untuk sesuatu yang kita inginkan, kita harus berkorban.
Contohnya nih, menunggu paketan JNE/TIKI agar dapat apa yang kita inginkan, menunggu dosen untuk dapat ilmu, menunggu hujan reda biar gak kehujanan, menunggu seseorang untuk mendapat perhatiannya.
Semuanya sih ada alasannya kalo kita tau kita nunggu untuk apa. Tapi kalau kita sudah menunggu dan hasilnya nihil atau mungkin kita sama sekali gak dihargai atas waktu kita, gimane rasanya? Pasti ada rasa muak yang terpendam.

Ibaratnya seperti ekonomi yang membahas tentang Opportunity Cost yang maksudnya itu biaya yang harus dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu. Setiap orang kalo mau mengambil keputusan pasti harus memikiran biaya yang dia keluarkan untuk mendapatkan kesempatan yang diinginkan. 
Nah, disini aku mengorbankan waktuku hanya untuk menunggu. Terkadang aku menunggu untuk sesuatu yang sama sekali gak ada. 
Bisa dibayangin kan kalau waktu kita malah digunakan untuk menunggu yang sama sekali gak ada hasilnya dan itu terbuang percuma, seharusnya waktu yang ada kita gunakan untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat. 
Faktanya, tetap saja hidup kita tidak bisa jauh dari kata "menunggu". 
Ahhhhhh, sangat menyebalkan




SAAT ANDA PUTUS ASA DAN INGIN MENYERAH,
 INGATLAH BAHWA INTERNET EXPLORER 
TIDAK PERNAH MENYERAH
Alhamdulillah, udah tahun 2014 aje. Gak kerasa ya, perasaan kemarin masih 2010 #yaelah
Gue mau terima kasih nih sama 2013 yang udah ngisi kehidupan gue selama 365 hari, yang udah bikin gue up and down. Dari yang gue takut naik prosotan sampe turun dari prosotan #abaikan
Oke sekarang serius. Well, 2013 gue sangat ekstrim, dari yang gak tau apa-apa, sekarang bisa tau. Dari yang gak pernah coba, sekarang udah coba. Contohnya nih ya, dulu pas gue ke Malang kan baru ketiga kalinya nih naik pesawat (gak tau ini gue sombong atau emang gue jarang travel) sama bokap gue, gue diajarin ini itu ini ini itu itu bla bla bla tentang tata cara awal masuk bandara sampai keluar bandara, sangking banyaknya tuh gue sampai catat di kertas kecil. Bokap nyokap gue nyuruh gue pulang sendiri dari Malang ke Kaltim, karena bokap gue mau terbang lagi ke Jakarta. Tega nian bokap nyokap, jadi selama ini gue cuma anak pungut? *drama* #abaikan
Alhasil alhamdulillah gue bisa pulang sendiri, gue hebat kan? Berani kan? Yeeeehhh.

Emmmh, di 2013 gue pernah galau abissssss gara-gara gak lolos masuk PTN, gue pernah mati-matian belajar cuma buat SBMPTN, gue rela bohongin orang tua gue demi masa depan gue, gue yang tinggal di kota orang jauh dari perantauan, gue yang kehilangan 2 sahabat gue, gue pernah nangis di kelas gara-gara pacar, gue pernah nangisin pacar di kelas, gue yang pernah bikin insiden pulang ke rumah secara tiba-tiba dengan bercucuran air mata gara-gara kelahi sama si pacar sampe nih 2 kelas tonton drama itu, gue yang disindir guru padahal gue cuma melet doang bukan bermasuk ngolok dia, gue pernah ngupil di dalam kelas, gue pernah kentut di dalam kelas, gue pernah OKE CUKUP.

Itu semua gue alamin di 2013, sebenarnya masih banyak lagi, tapi takut elo yang baca pada bosen. Intinya gue simpan baik dan buruknya 2013 gue di memori otak gue, di buku diary, di blog dan lain-lain yang bisa bikin gue flashback nantinya. Terima kasih 2013 bikin gue jadi dewasa, bikin gue bisa ngerasain ini itu rasanya gimana, walaupun lo pernah bikin gue down gue tau lo mau gue lebih kuat lagi. Gue tau gue gak bakal ketemu si 2013 lagi, tapi thanks banget gue diberi kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama orang yang gue sayang. Semoga si 2014 ini bisa bersikap baik sama gue, bisa memberikan gue kesempatan yang lebih baik lagi dari 2013. Selamat tinggal 2013, gue gak bakal lupain lo. Selamat datang 2014, lo harus bikin hidup gue lebih berwarna!


Newer Posts Older Posts Home



About Me

My photo
Aanisa Rohmi
View my complete profile

Archive

  • ►  2018 (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2017 (13)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (4)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (21)
    • ►  December (2)
    • ►  November (5)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  August (1)
    • ►  July (2)
  • ▼  2014 (13)
    • ▼  December (1)
      • Cuma Curahan Hati
    • ►  September (2)
      • Beban Anak Perantauan
      • Hal Remeh yang Bisa Membuat Dunia Lebih Baik
    • ►  August (1)
      • Etika Antri vs Pandai 'Matematika'
    • ►  April (2)
      • Curahan Hati Siswa
      • 3 Kata Ajaib
    • ►  March (1)
      • Bab terakhir
    • ►  January (6)
      • "Mungkin" Menjadi "Kemungkinan"
      • Apakah Aku Mengenal Diriku Sendiri?
      • Menunggu Itu Menyebalkan
      • Quote #22
      • Tentang si 2013
  • ►  2013 (9)
    • ►  November (2)
    • ►  July (2)
    • ►  May (1)
    • ►  March (4)
  • ►  2012 (12)
    • ►  July (4)
    • ►  April (5)
    • ►  January (3)
  • ►  2011 (55)
    • ►  December (3)
    • ►  November (3)
    • ►  October (3)
    • ►  August (8)
    • ►  July (6)
    • ►  June (6)
    • ►  May (5)
    • ►  April (5)
    • ►  March (3)
    • ►  February (5)
    • ►  January (8)
  • ►  2010 (27)
    • ►  December (5)
    • ►  November (7)
    • ►  October (4)
    • ►  September (5)
    • ►  August (4)
    • ►  July (1)
    • ►  March (1)
Powered by Blogger.

Copyright © 2009-2020 Aanisa Rohmi. Created By OddThemes